“Sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa. Karena itu, penjajahan(dalam bentuk apapun) di atas dunia harus dihapuskan” (Naskah Preambul dari BPUPKI).
Sebelum proklamasi dibacakan Soekarno di gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tiga tahun sebelumnya di Gorontalo di bawah Komite 12 yang dipimpin Nani Wartabone (1907-1986) melakukan pergerakan melawan era akhir kolonialisme dari Asisten Residen Manado di Gorontalo Corn dan kontrolir B.B. Dancouna serta dibarengi pelucutan kekuasaan kolonialisme Belanda oleh pendudukan Jepang Dai Nippon setelah menyerang Pearl Holbour pada 1941.
Inspirasi pergerakan bagi embrio proklamasi dari Nani Wartabone dkk, bukan hadiah pendudukan Jepang dan kondisi pergerakan yang sudah dimulai oleh Soekarno setelah magang di Jl. Peuneleh Surabaya pada HOS Cokroaminoto dengan Serikat Islamnya sejak 1916.
Nani Wartabone, putra Jougugu Gorontalo, Zakaria Wartabone dan ibu Saera Mo’oduto, sejak kecil sudah dididik ayahnya di era kontrolir B. de Jong.
Setelah disekolahkan di HBS, siswa dengan nama sapaan John (kelak, dieja Jonu) sudah mulai menunjukkan bakatnya sebagai orang pergerakan ketika ia membebaskan tahanan kontrolir de Jong yang dijagai sang Jougugu Zakaria.
Kiprah lain Jonu alias Nani sebelum berangkat sekolah HBS Surabaya pada 1924, dua tahun sebelum ia magang di HBS Tomohon pada keluarga Pendang Kalengkongan yang menjadi sekutu perjuangannya pada 23 Januari 1942 kemudian.
Pada 1924, bersama kakaknya Ayuba, Jonu disekolahkan HBS di Surabaya dan Ayuba akhirnya memilih ke Batavia.
Di HBS Surabaya Jonu mulai mengikuti diskusi-diskusi kaum pergerakan yang dibesut oleh HOS. Cokroaminoto yang diantaranya digerakkan oleh Soekarno lewat pembentukan PNI pada 1927 dan setahun kemudian, pada 28 Oktober 1928 ia aktif di Jong Celebes sebelum balik ke Gorontalo setelah dibekali Soekarno dalam pembentukan PNI yang ia lanjutkan di Gorontalo.
Sebelum kepulangannya dari Surabaya, setelah mampir sejenak di Bandung pada pondok Soekarno dan PNI. Konon, setelah PNI berdiri, Soekarno ditahan pemerintah Belanda dan menghasil pidato pembelaannya(pleidoi) dalam “Indonesia Menggugat”.
Sejak kembali dari pendidikannya di Surabaya, api nasionalisme mulai ia aktifkan dan juga dipicu datangnya tokoh perjuangan di Gorontalo, di antaranya HOS. Cokroaminoto dan disusul Mr. Ishak pada 1930 yang juga diikuti guru gubernemen asal Talaud, E.P. Gagola.
Walhasil gerakan nasionalisme yang dibesut oleh SI, PNI, Budi Utomo, Jong Java, Jong Celebes, Taman Siswa dan banyak lagi telah membuahkan hasilnya lebih awal justru oleh interaksi dan pergaulan yang luas dari Nani Jonu Wartabone.
Boleh dikata, kaum pergerakan dan nasionalisme itu melebar kemana-mana serta direspon secara cepat oleh Nani Wartabone dkk. sebelum dwi proklamator Soekarno-Hatta mendeklariskannya pada 17 Agustus 1945, yang besok akan didirgahayukan ke-76. Sebuah urun waktu yang tak muda lagi.
Entah apa, 14 atau 17 tahun setelah peristiwa proklamasi itu, Nani menolak usul Soekarno agar Gorontalo menjadi ibukota Provinsi Sulutenggo pada 1959 ketika Sam Ratulangi sebagai pengusul cita-cita kemerdekaan dalam Risalah Sidang BPUPKI ditunjuk menjabat Gubernur Sulawesi.
Terlepas dari dinamika sejarah kebangsaan itu, teka-teki penolakan Nani atas Gorontalo sebagai ibukota Provinsi Sulutenggo biarlah menjadi sejarah dari luputnya egoisme kewilayahan yang diemban oleh tokoh sekaliber Nani Jonu Wartabone. Sekurang-kurangnya, di Komite 12 itu terdiri atas pelbagai suku dan asal daerah dengan bukti nama-nama berikut ini: RM. Koesno Danoepoyo, Buluwati, Bajeber, Alhasni, Monoarfa,Hadju, Tumu, Soegondo, Danuwatio, Ointu(paman kami,red.) serta dari Veld Politie, ada Pendang Kalengkongan, Tumewu, Paat, Poluan, Saerang, Kondowangko, Monareh dan Tombeg.
(***)
Penulis adalah Filsawan